Mengenang Rumah Singgah Bung Karno di Padang, Kini Jadi Restoran Jepang, Begni Padandangan GMNI |
Padang, prorakyatnews.id---- Rumah Singgah Bung Karno di Kota Padang bukan hanya sebuah bangunan tua, melainkan monumen hidup dari perjuangan kemerdekaan bangsa. Di sinilah Bung Karno pernah menjalani masa pembuangan oleh Belanda pada 1942—saat ide-ide besar tentang pembebasan, nasionalisme, dan perlawanan kolonial berkembang di tengah tekanan penjajah.
Rumah itu seharusnya menjadi tempat suci dalam narasi kebangsaan, bukan sekadar artefak. Namun hari ini, sejarah itu sudah dihapus dengan cara paling brutal: dihancurkan, dihilangkan, lalu digantikan oleh restoran Jepang yang tidak mencerminkan satu pun nilai perjuangan.
Apa yang terjadi bukanlah sekadar perobohan bangunan—ini adalah pemusnahan sejarah yang disengaja. Bangunan yang seharusnya menjadi Cagar Budaya resmi, yang bisa menjadi ruang pendidikan sejarah, perenungan ideologi, dan penguatan identitas bangsa, kini dikomersialisasi demi kepentingan ekonomi kapitalistik. Ironisnya, restoran Jepang tersebut berdiri tanpa plakat, tanpa papan sejarah, tanpa penghormatan. Tak ada satu pun elemen yang menunjukkan bahwa di tanah itu, dahulu pernah hidup dan bergolak semangat revolusi kemerdekaan.
GMNI Kota Padang memandang peristiwa ini sebagai simbol puncak pengkhianatan terhadap sejarah nasional. Ketika sebuah situs sejarah sedemikian penting bisa diruntuhkan dan digantikan dengan kapital asing, maka kita sedang menyaksikan bentuk baru kolonialisme—bukan oleh bangsa luar, tapi oleh birokrasi lokal yang tunduk pada kekuasaan uang. Ini adalah penjajahan gaya baru, dan ia menancap diam-diam dalam jantung kota yang seharusnya menjaga ingatan kolektif rakyat.
Peristiwa ini bukan terjadi di ruang kosong hukum. Negara telah jelas memberi mandat melalui Pasal 32 Ayat (1) UUD 1945: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Rumah Singgah Bung Karno bukan hanya milik Kota Padang, tetapi milik bangsa Indonesia. Oleh karena itu, penghancurannya adalah penghinaan terhadap konstitusi.
Lebih lanjut, UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang merusak, menghancurkan, atau mengalihkan fungsi cagar budaya tanpa izin dan proses konservasi yang sah.” Dalam kasus ini, tidak ditemukan proses kajian publik atau pelibatan tokoh masyarakat, sejarawan, ataupun budayawan. Pengalihfungsian dilakukan secara diam-diam, seolah-olah sejarah bisa dihapus seperti debu di atas meja.
Pertanyaannya: siapa yang memberi izin? Siapa yang bertanggung jawab atas lenyapnya rumah perjuangan itu? Dan mengapa Pemerintah Kota Padang serta instansi kebudayaan daerah diam dan membiarkan proses ini berjalan tanpa perlawanan? Di sinilah rakyat patut curiga bahwa terdapat jaringan kolaborasi antara penguasa dan pengusaha dalam menghapus ingatan bangsa demi keuntungan jangka pendek.
GMNI tidak tinggal diam. Kami menyatakan dengan tegas bahwa Rumah Singgah Bung Karno harus dikembalikan fungsinya sebagai Cagar Budaya. Tidak bisa hanya dibiarkan menjadi lokasi kuliner tanpa nilai sejarah. Bangunan baru boleh berdiri, tetapi sejarah tak bisa digantikan. Maka, kami menuntut rekonstruksi ulang Rumah Singgah Bung Karno secara arsitektural dan ideologis, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan konstitusional pemerintah kepada bangsa ini.
Kami juga menuntut agar seluruh pihak yang terlibat—baik secara langsung maupun tidak langsung—diadili secara terbuka. Siapa pun yang memberi izin, memfasilitasi, atau menutup mata atas perusakan ini, harus dimintai pertanggungjawaban hukum. Tidak boleh ada kekebalan bagi para perusak sejarah bangsa.
Ini bukan hanya soal Padang. Ini soal bangsa. Jika hari ini satu rumah sejarah dirobohkan tanpa konsekuensi, maka besok rumah lainnya akan menyusul. Museum bisa dijual, makam pahlawan bisa ditukar dengan mal, dan lambat laun bangsa ini kehilangan memori kolektifnya.
Sebagaimana dikatakan Bung Karno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya.” Maka peristiwa di Padang ini adalah ujian besar bagi kebesaran bangsa. Apakah kita bangsa besar yang menjaga sejarah, atau bangsa kecil yang menggadaikan identitas demi uang?
Kami menyerukan kepada seluruh elemen mahasiswa, akademisi, budayawan, tokoh adat, dan masyarakat luas untuk menyuarakan perlawanan terhadap komersialisasi sejarah. Sejarah bukan komoditas. Sejarah adalah dasar berdirinya peradaban. Tanpa sejarah, tak ada bangsa yang bisa melangkah dengan tegas ke masa depan.
Aksi pencerdasan ini bukan hanya bentuk perlawanan simbolik. Ini adalah bentuk tanggung jawab ideologis dari anak-anak bangsa yang sadar bahwa perlawanan terhadap kapitalisme harus dimulai dari ruang-ruang kultural dan historis yang ingin mereka kuasai.
Kita tidak menolak pembangunan, tapi pembangunan tanpa akar sejarah adalah proyek kosong. Kita tidak menolak investasi, tapi investasi yang menghapus jati diri bangsa adalah bentuk penjajahan. Pembangunan sejati adalah pembangunan yang berpihak pada ingatan, pada nilai, dan pada semangat kebangsaan.
Mari bangkit. Mari bergerak. Jangan biarkan Rumah Bung Karno menjadi contoh pertama dari banyak situs sejarah lainnya yang akan dijadikan bisnis. Jangan biarkan bangsa ini lupa dari mana ia berasal.
Bersama rakyat, GMNI Kota Padang akan terus menyuarakan keadilan sejarah. Kami tidak akan berhenti sebelum pemerintah mengakui kesalahan, memperbaiki kerusakan, dan menghukum pelaku-pelaku yang telah merusak kehormatan sejarah nasional.
Bangkit dan Berpikir! Bergerak dan Mengguncang!
Rumah Bung Karno bukan restoran. Rumah Bung Karno adalah identitas bangsa!
Tegakkan keadilan sejarah, kembalikan hak rakyat atas ingatannya sendiri!
Hidup Rakyat!
Hidup Marhaen!
Hidup Bung Karno!
****M. Hidayat
Tidak ada komentar:
Write comment